Bagaimana Mengatasi Kecanduan Game Pada Anak

0 komentar
Coba, pernahkah kita bertanya secara spesifik kenapa anak dan remaja bahkan orang dewasa kecanduan game? Mungkin jawaban sederhananya adalah game itu mengasyikan dan seru-seru model permainannya. Sekilas jawabannya baik dan masuk akal. Tetapi yang berkembang belakangan ini game sudah lebih jauh dari sekedar seru dan asyik. Ada apa disana dan kenapa lebih asyik? Karena sekarang disana ada kehidupan dan dunianya sendiri, atau mudahnya ada “alamnya” sendiri.

Kita akan pelajari kenapa anak dan remaja begitu kerajingan sesuatu yang namanya game, dan apa dampak bahaya secara psikologis dan masa depan anak bangsa.

Banyak orangtua mengeluh dan sudah tidak berkutik jika anaknya sudah nyandu yang satu ini. Disatu sisi orangtua juga ada enaknya, pada saat anak mereka main game mereka memilki waktu untuk diri sendiri dan seakan bisa bebas dari tugas dan rutinitas terhadap konsekuensi mengurus tugas anak. Tetapi tahukah bahwa ternyata ada banyak “alam” yang berbahaya di alam game dan itu nikmat bagi anak.


Baiklah kita pahami apa yang terjadi di alam dunia game, di alam ini anda yang bukan siapa-siapa bisa menjadi siapa-siapa. Maksudnya jika anda di dunia nyata anda adalah orang yang biasa, anak yang sekolahnya bermasalah dan kehidupan di dunia nyata bermasalah, bisa berubah total jika anda memainkan peran di alam Game. Misal anak anda yang sekolahnya bermasalah dengan nilai dan sikapnya, bisa saja di alam gamenya dia adalah seorang jagoan yang banyak menolong orang dan kuat serta dihargai. Dan ini bertolak belakang dengan dunia nyatanya bukan? Bahkan di dalam alam game atau dunia gamenya dia adalah seorang raja yang dihormati dan memilii banyak sekali kekayaan dan semua perintah dan keinginannya dapat dituruti.

Anak merasa bukan siapa-siapa di dunia nyata, tetapi dia adalah “Raja” atau orang yang berkuasa di alam gamenya. Dan ini nikmat baginya karena penghargaan dan penerimaan benar-benar dirasakan di alam game tersebut. Sedangkan di dunia nyatanya, dia tidak dihargai dan berbagai label tentang anak yang negatif sudah menumpuk pada dirinya. Mereka yang seakan menjadi pecundang di dunia nyata dan anak yang di “sia-sia”, bisa menjadi juara sejati di alam yang berbeda. Mereka mendapatkan penghargaan dan diterima, di elu-elukan merasa dibutuhkan, diinginkan dan itu semua berbeda dengan dunia yang nyata dalam kehidupannya. Paham bukan? Kenapa anak dan remaja bisa kecanduan game?

Sebagai orangtua atau pemerhati tumbuh kembang anak ada baiknya kita memahami hal ini dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada anak kita, terima dia apa adanya dan bantulah agar berprestasi dan buat dia menjadi anak yang luar biasa hebat dalam bidang yang dia sukai. Jika kita tidak mengambil tanggung jawab kita, maka sudah ada yang bisa mengambil alih dan kita tahu itulah game dan berbagai media sejenis yang siap menjadi guru dan pengaruh dalam kehidupannya.

Coba perhatikan, didalam permainan game sekarang ini sudah sangat memperhatikan banyak sisi psiokologis manusia, jelaslah karena pasar mereka adalah manusia. Tetapi yang ingin kita bagikan disini adalah mereka jauh lebih bisa mengerti manusia dari pada manusia sendiri kepada sesama manusia. Contoh, jarang sekali atau bahkan tidak pernah ditemukan di dalam dunia game ada kecaman dan makian saat seorang anak gagal memainkannya, yang ada adalah kata “coba lagi, ingin melanjutkan, dan sejenisnya” bandingkan dalam keseharian seorang anak atau kita orang dewasa, salah baru sekali atau dua kali sudah di cap tidak bisa dan tidak becus. Dan label atau cap tersebut melekat di benak kita dan anak kita yang artinya selamanya, padahal yang kita butuhkan hanyalah latihan dan pembiasaan, karena kita belum tahu dan mengerti. Di game tidak ada aturan seperti itu, mereka jauh lebih mengerti dan sabar daripada kita sesama manusia.


Game juga mengatasi banyak hal dalam kehidupan, beberapa waktu lalu ada seorang rekan yang setiap hari kecanduan game karena kesepian dan sulit berkomunikasi dengan keluarganya. Dia akhirmnya bermain game bertema peternakan yang “mengikatnya”, setiap hari Ipad nya akan mengeluarkan bunyi suara sapi, jika belum diberi makan, dan dia bisa mengangapnya nyata “kasian belum makan sapi-sapiku” dan ada jam-jam tertentu dimana dia harus konsentrasi dengan gamenya tanpa boleh diganggu. Seakan-akan hidupnya seperti seorang profesional yang sibuk namun, hanya memberi makan sapi di gamenya, diceritakan sendiri kesehariannya dan kekonyolannya dengan terbahak-bahak.

Nah, anda sudah tahu permasalahannya, lalu bagaimana mengatasinya? Ada 5 tips yang akan kami bagikan dan bisa anda praktekkan dalam keseharian anda dan anak anda.

Sediakan waktu dan kebersamaan dengan anak lebih banyak, menemani anak di rumah. Jika Anda sangat sibuk, aturlah sedemikian rupa. Anggap saja anak anda sedang “sakit” dan perlu ditemani.
Mengembangkan cara berkomunikasi yang lebih enak dan nyambung dengan anak.
Berusaha memahami kebutuhan anak, termasuk bahasa anak. Menyelami game-game yang dimainkan supaya bisa menjadi pintu masuk anda bicara dengan anak.
Rencanakan waktu untuk makan bersama dan rekreasi bersama. Saat ngobrol dengan remaja yang enak adalah saat situasi mereka juga enak, saat makan dan santai.
Jangan bicara apalagi dengan marah-marah kepada anak saat mereka sedang main game. Hal itu justru membuat mereka bertambah terluka. Berusaha bicara dengan menatap anak dengan kasih sayang.
Semoga tulisan dan informasi ini bermanfaat bagi anda dan keluarga tercinta anda. Rebut kembali fungsi utama anda, dan cintai anak dengan sepenuh hati kita
Dikutip dari Timothy Wibowo | Rabu, 26 Juni 2013
http://www.pendidikankarakter.com/bagaimana-mengatasi-kecanduan-game-pada-anak/

Renungan

0 komentar
Waktu Di Kuburan Lebih Lama Dibanding Waktu Hidup Didunianya

Faktanya memang sudah banyak sekali orang yang telah meninggal dan dikuburkan ratusan dan ribuan tahun lalu. Usia hidup manusia yang mungkin berkisar paling lama sampai 100 tahun maka orang-orang yang telah meninggal ratusan/ribuan tahun tadi tentunya telah membuktikan bahwa waktu mereka di alam kubur itu lebih lama dibandingkan dengan waktu hidupnya. Bahkan jika dibandingkan kehidupan akhirat dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa hidup di akhirat itu jauh lebih kekal dan lebih panjang di mana 1 hari di akhirat sama dengan puluhan tahun di dunia.

Jika kita mengerti betul tentang hakikat singkatnya hidup di dunia ini maka tentu sangat tidak bijaksana jika hidup ini kita sia-siakan begitu saja. Jangan sampai kita terlena membiarkan setiap detik untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan tak bernilai ibadah. Jangan melewatkan waktu menguap cepat tanpa ada guna karena setiap saat yang terlewat dengan cepat tadi akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya kelak.

Terasa baru kemarin kita berada di usia kanak-kanak. Terasa baru saja kita lulus sekolah. Ya, ternyata waktu berlalu sangat cepat. Jangan sampai kita baru menyadari waktu yang telah terlewat namun kita belum memanfaatkannya. Na’udzubillah

Dikutip dari Kisah Islam | Sabtu, 22 Juni 2013

Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas

0 komentar
Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikandi sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalahpentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilaietika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengansistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilaidan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.

Dikutip dari Timothy Wibowo | Minggu, 16 Juni 2013
http://www.pendidikankarakter.com/mewujudkan-pendidikan-karakter-yang-berkualitas/